laman

Senin, 21 November 2011

HISTORIS KEMUNCULAN KULTUR ISLAM ARAB

            Dalam perdebatan tentang asal mula antara negara dan peradaban terdapat kesepakatan bahwa perubahan religius mendahului berdirinya institusi-institusi negara sentral. Berhubung pusat yang diinstitusikan ini sedang dilahirkan, maka ia menciptakan agama yang melapisi tingkat-tingkat pemujaaan dan fimilistik dan segmental yaitu masyarakat luas yang mencakup seluruh aktifitas. Agama ini menyembah tuhan Tuhan betul bukan hanya menyembah roh-roh yang didefinisikan secara kabur. Monumen-monumen dan candi-candi umum, dimana upacara-upacara di lakukan menyangkut masyarakat secara keseluruhan, dan dibangun oleh tenaga kerjakorve masyarakat luas.
            Sebagaimana di tekankan oleh Elman Service. Tetapi penegasan ini menunjukkan bagai agama-agama politeistik. Menurut logika evolusi kultural, jika agama monoteistik menjadi politik maka ia harus melahirkan institusi sentral yang yang lebih kuat. Memang demikianlah halnya dengan Islam. Kendatipun demikian, kita terlebih dahulu perlu membicarakan kerangka historis dan lingkungan sosiokultural dari mana Islam berasal. Orang Arab Pra Islam adalah politeis, hidup dalam unit suku-suku yang terpecah belah dan tidak memiliki pusat yang terinstitusionalisasikan. Dua bentuk struktur sosial hidup berdampingan. Di Makkah pusat perdagangan berkembang dimana kelompok etnis Qurais membentuk strata pedagang kaya. Sebaliknya orang-orang Badui primitif yang hidup di padang pasir mempertahankan diri secara material dengan cara merampok kafilah-kafilah dengan orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy Makkah menyembah dua dewi utama, Allat dan al-Uzza.
            Pada abad ke 6 dunia beradap di dominasi oleh dua imperium dunia, Bizantium Romawi dan Sasania Persia. Orang-orang Arab periode ini yang pada umum nya adalah orang-orang badui, disebut saracen karena mereka hidup di tenda-tenda. Orang-orang badui tidak memiliki norma-norma hukum maupun kekuasaan negara pusat. Kehidupan manusia di lindungi sebagaimana adanya , melalui institusi pendeta. Kehidupan keras yang dialami oleh masyarakat ini menghalangi munculnya kesenian asli, puisi misalnya dianggap sebagai propaganda. Seorang badui tidak akrab dengan pemikiran abstrak ia adalah seorang realis dan kehidupan keras padang pasir telah memeberinya sedikit persiapan untuk merefleksi tentang yang tak terhingga. Untuk bisa mengontrol lebih besar wilayah Arab, maka kedua inperium dunia ini menanam pengiut-pengikut mereka sendiri. Bizantium memiliki dinasti Ghasannya dan Sasania persia memiliki dinasti lakhmid. Kedua dinasti Arab ini saling bermusuhan. Orang-orang Yahudi dan Kristen memiliki Tuhan mereka sendiri, yang juga di kenal oleh orang Arab dengan nama “Allah”tetapi mereka memuliakan bersama dengan tuhan-tuhan lain, seperti dua dewi yang di sebut di atas. Tetapi orang Arab tidak memiliki kekaisaran maupun kitab suci tersendiri. Krajaan Ghassan dan kerajaan Lakhmid tidak lebih dari sekedar negara-negara taklukan Bizantium dan Persia.
            Wahyu yang di terima oleh Mhammadyang mulai pada tahun, 610 M, dan berakhir hingga wafatnya mulai dikumpulkan dan disistematisir dibawah kalaifah pertama dan sampai pada sekarang ini. Menurut Robinson, Muhammad merpakan pendiri ideologi baru yang dulu berfungsi sebagai sesuatu yang memobilisirkekuatan, karena ideologi ini berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhanpada zaman itu, kepada Arab secara unik. Ideologi Islam berkembang dan menyebar bukan hanya karena ia mempu memuaskan tuntuan-tuntutan zamannya tetapi juga pendirinya merupakan pemikir agama, politikus yang bijak, dan ahli strategi militer yang ulung. Ia menyatukan Yesus dengan dan Charlemagne di tangan seorang manusia. Gema risalah Muhammad bisa dikaitkan dengan fakta bahwa ideologi Islam pada waktu itu merupakan agama Arab untuk orang-orang Arab.Reaksi kaum elit yang berkuasaterhadap ideologi baru ini, juga memberikan andil bagi perluasannya yang cepat. Sistem-sistem sosial yang stabil dan pusat kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan yang baru, tetapi masyarakat Mekkah tidak memiliki stabilitas dan pusat. Msyarakat Makkah ini juga tidak memilikistruktur gerejawi yang terlembagakan yang mestinya mampu menyerap secara spiritual ideologi revolusi Muhammad. Pada mulanya Muhammad memiliki sedikit murid dan orang-orang ingin sekali kompromi dengan Quraisy yang berkuasa. Tetapi orang-orang Quraisy konservatif marah…..mereka berusaha untuk menggunakan tekanan umum terhadap keseluruhan puak Hasyim, agar mereka mau menyingkirkan perlindungan mereka dari si kambing guduk. Melalui sarana –sarana semacam ini orang-orang Quraisy tidak hanya membantu menciptakan solidaritas yang sungguh-sungguh di kalangan kaum muslimin yang masih baru dan belum berpengalaman tetapi mereka juga melahirkan melalui tekanan mereka itu bahkan tingkat kohesi yang lebih besar dalam aliran yang kecil tetapi berkembang dengan mantap itu.
            Ketika penganiayaan atas pengikut aliran Muhammad oleh kaum Quraisy di Makkah semakin gencar secara tanpa toleransi, maka anggota-anggotanya melakukan hijrah ke tempat yang berlainan, dan setelah melakukan persiapan yang hati-hati pada tahun 622, ke kota tetangga Madinah, dimana mereka diterima oleh pemeluk-pemeluk lain dari aliran mereka. Madinah menjadi kota teokratis yang diperintah oleh Muhammad. Di bawah ancama militer antara Makkah dan Madinah, Rasulallah membuktikan seorang politikus yang berpandangan jelas sekaligus ahli strategi militer yang handal. Dilihat dari psikoanalisa masa kanak-kanak Muhammad yang yatim melahirkan atraksinya yang kuat pada kepada kaum wanita, yang mendorong pada instumentalisasi keinginan kuatnya akan ideologi baru dalam perkawinan-perkawinannya dengan putri-putri orang badui yang berpengaruh, yang karena memaksa kesetiaan kelompok-kelompok etnik mereka kepada pihaknya. Kendatipun demikian pernikahan-pernikahan politik Muhammad tidak dengan sendirinya mampu menghilangkan bagian semenanjung Arabiayang tersekmentasikan karena suku-suku yang bersaing. Penegakan sumber otoritas, yang diakui dan ditunduki oleh semua suku, benar-benar penting. Islam monoteistik menengahi lapisan atas agama yang menstranformasi masyarakat badui ke dalam suku(qaum) dalam mikrolevel dari masyarakat badui Arab yang tersegmentasi kedalam masyarakat Islam (Ummah) yang mencakup seluruh Arab. Sejarawan agama Islam yang terkenal, W. Montgomery Watt, menyebut penyatuan Arab sebagai  prestasi historis Muhammad yang paling penting. Dalam pengertian ini, karya Muhammad juga menciptakan fondasi kultural karena ini, menurut teori kulturalnya Freud, merupakan salah sAtu prestasi utama kultur untuk mengumpulkan orang-orang ke dalam unit-unit yang lebih besar.

Bassam Tibi, Krisis Peradaban Islam Modern, Sebuah Kultur Praindustri dalam Era Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya. 1994.

0 komentar:

Posting Komentar